Sudah menjadi tradisi di kalangan Umat Islam Indonesia, bila ada seorang yang wafat, maka keluarga al-Marhum akan menyelenggarakan tahlilan, yang mana dihadiri para kerabat, keluarga, tetangga dan handai tolan. Setelah pelaksanaan tahlil, biasanya dilanjutkan dengan acara ta'ziah. Dalam ta’ziah itu, sering diisi ceramah agama. Tujuannya, di samping menghibur keluarga yang sedang berduka, juga menyampaikan siraman rohani keagamaan pada masyarakat yang hadir dalam ta’ziah.
Berangkat dari hal ini, muncul permasalahan, bagaimana Syariat Islam menyikapi tahlilan dan ta’ziah? Di titik singgung manakah perbedaan yang diperselisihkan selama ini?
Semoga uraian berikut, dapat memberi solusi alternatif bagi tsaqafah (wawasan) kita dalam melihat masalah tahlilan. Dan lebih dari itu, manfaat kedewasaan sikap dan kedalaman pengetahuan Islam, semakin mengakar dalam diri kita semua. Amin!
Pengertian Tahlil
Dari sisi etimologi, kata tahlil memiliki arti mengucapkan laailaahaillallah. Dalam hadits dijelaskan, bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Perbaharuilah imanmu! Seorang sahabat bertanya, wahai Rasulullah, bagaimana cara memperbaharui iman? Beliau menjawab, Perbanyaklah tahlil".
Mengacu dari konteks hadits ini, tahlil mengandung pengertian; mengucapkan kalimat laailahaillallah (tiada tuhan selain Allah). Demikian disebutkan dalam kamus kontemporer. Kata tahlil termasuk dalam beberapa kata yang telah dibakukan untuk satu ucapan tertentu. Kata tahlil sebangsa dengan kata tahmid; mengucapkan Alhamdulillah, tasbih; Subhanallah, Hamdalah; Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, dan sebagainya.
Dalam perkembangan selanjutnya, istilah tahlilan kemudian lebih dipahami di lingkungan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari ritual dzikir, ketika ada seseorang meninggal dunia.
Persoalan selanjutnya adalah, muncul perbedaan pendapat yang dikalangan ulama dalam masalah ini, apakah tahlilan boleh atau tidak.
Pendapat Ulama Mengenai Tahlilan
Permasalahan tahlilan adalah termasuk salah satu ritual yang masih diperdebatkan oleh ulama hingga saat ini. Adapun titik krusial yang menjadi obyek perbedaan tersebut terletak pada poin-poin berikut:
Apakah doa, bacaan istighfar untuk mayit dan bacaan Al-Quran orang hidup yang dihadiahkan pahalanya pada al-Marhum, dapat memberi manfaat bagi si mayit atau tidak?
Apakah tahlil (dalam bentuk yang kita kenal) disyariatkan Allah dan Rasul-Nya atau tidak?
Ibnul Qayyim al-Jauziyyah membagi bentuk amal perbuatan manusia menjadi dua bagian. Pertama, amal badaniyyah. Yaitu, amal yang dipraktekkan langsung oleh fisik manusia, seperti shalat, puasa dan dzikir. Kedua, amal maliyyah. Yaitu, amal dalam bentuk materi dan harta, seperti sedekah dan infaq.
Berangkat dari dua poin dan perkataan Imam Ibnul Qayyim di atas, para ulama berbeda pendapat menyikapi tahlilan sebagaimana dibawah ini:
Pendapat Pertama
Ritual tahlil bukan termasuk sesuatu yang dianjurkan agama, dan memohonkan ampun serta menghadiahkan pahala kepada orang yang telah mati tidak berpengaruh sedikit pun bagi sang mayit. Berdasarkan beberapa dalil:
Firman Allah Swt. dalam Surat An-Najm, ayat 38-39 :
أَلاَّ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى * وَأَنْ لَيْسَ لِلإِنْسَانِ إِلاَّ مَا سَعَى
"Bahwasannya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan seorang manusia tidak akan memperoleh selain apa yang telah diusahakannya."
Firman Allah dalam Surat Yaasiin, ayat 54 :
فَالْيَوْمَ لا تُظْلَمُ نَفْسٌ شَيْئاً وَلا تُجْزَوْنَ إِلاَّ مَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ
"Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun, dan kamu tidak dibalasi kecuali dengan apa yang telah kamu kerjakan."
Firman Allah dalam Surat Al-Baqarah, ayat 286 :
لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ
"Ia mendapat pahala (dari kebaikan) yang diusahakannya dan mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya."
Tiga ayat di atas merupakan penjabaran dari keterangan, bahwa orang yang telah mati, tidak berkesempatan lagi mendapat tambahan pahala, yang dapat menyelematkannya dari siksa kubur & akhirat, kecuali yang disebutkan dalam hadits riwayat Imam Muslim:
· "Apabila seorang manusia meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal: (1) sedekah jariyah, (2) Doa anak shalih, (3) Ilmu yang bermanfaat sesudahnya."
· "Barangsiapa mengerjakan suatu perbuatan yang tidak kami perintahkan, maka (perbuatan) itu tidak diterima."
Hadits pertama menyebutkan, hanya ada tiga perkara yang akan mendatangkan manfaat bagi si mayit. Dari tiga perkara itu tidak ada satupun yang mengisyaratkan adanya tahlil, atau membolehkan tahlilan.
Hadits kedua lebih tegas lagi, secara jelas menyatakan, bahwa segala perbuatan yang tidak dicontohkan Rasulullah saw. adalah perbuatan bid’ah. Berdasarkan hadits kedua ini, sebagian ulama menyimpulkan, bahwa tahlilan bertentangan dengan Syariat, karena tidak sesuai dengan enam hal yang disepakati bersama. Keenam hal tersebut adalah (1) sebab atau illat, (2) jenis, (3) kadar (bilangan), (4) waktu, (5) tata cara (kaifiyah), dan (6) tempat.
Karena itu jelaslah, bahwa semua amal ibadah manusia yang masih hidup, tidak akan bisa dihadiakan pahalanya kepada orang yang telah meninggal dunia. Bahkan pahala yang diniatkan untuk dihadiahkan kepada si mayit, tidak akan pernah sampai dan tidak akan memberi manfaat sedikit pun pada sang mayit. Hal ini berlaku untuk seluruh aspek amal kebaikan, baik amal badaniyah atau maliyyah. Kecuali beberapa hal yang diberi dispensasi oleh Rasulullah, sebagaimana dilansir dalam hadits riwayat Muslim di atas.
Pendapat Kedua
Antara ibadah badaniyah dan ibadah maliyah harus dibedakan. Pahala ibadah maliyyah seperti sedekah dan infak akan sampai kepada mayit. Sedangkan ibadah badaniyah seperti shalat dan bacaan Al-Quran, tidak ada pengaruhnya bagi sang mayit. Dengan kata lain pahalanya tidak sampai ke mayit. Pendapat ini paling masyhur di kalangan mazhab Syafi’i dan Maliki. Mereka ber-hujjah, bahwa ibadah badaniyah termasuk kategori ibadah yang tidak bisa digantikan orang lain. Sama halnya saat ia masih hidup, ia tidak akan bisa mewakili kewajiban shalat orang lain yang juga masih hidup. Alias, ibadahnya tidak sah. Sesuai dengan sabda Rasulullah saw.:
لاَ يُصَلِّي أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ وَلاَ يَصُوْمُ أَحَدٌ عَنْ أَحَدٍ، وَلَكِنْ يُطْعِمُ عَنْهُ مَكَانَ كُلِّ يَوْمٍ مُدًّا مِنْ حِنْطَةٍ
"Seseorang tidak boleh melakukan shalat untuk menggugurkan kewajiban shalat orang lain, dan tidak pula melakukan puasa untuk menggantikan puasa orang lain, tetapi hendaklah ia memberi makan untuk satu hari sebanyak satu mud gandum".
Pendapat Ketiga
Doa dan juga ibadah yang diniatkan untuk mayit, baik dalam bentuk maliyah atau pun badaniyah, sangat bermanfaat bagi mayit, berdasarkan dalil-dalil berikut ini:
Pertama : Dalil Al-Quran
Allah Swt. berfirman dalam Surat Al-Hasyr, ayat 10 :
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِاْلإِيمَانِ
’’Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa, ’’Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami.’’
Dalam ayat ini Allah Swt. menyanjung orang beriman, karena mereka memohonkan ampun (istigfar) untuk orang-orang beriman sebelum mereka. Ini menunjukkan, bahwa orang yang telah meninggal mendapat manfaat dari istigfar orang yang masih hidup.
Kedua : Dalil Hadits
· Dalam hadits, banyak sekali melansir doa yang dibaca saat shalat jenazah. Yaitu, doa yang ditujukan pada mayit setelah ia dikubur, dan doa ziarah kubur. Doa yang dibaca saat shalat jenazah antara lain, Rasulullah saw. bersabda yang artinya : "Auf bin Malik berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. setelah selesai shalat jenazah berucap: Ya Allah, ampunilah dosanya, sayangilah dia, maafkanlah dia, sehatkanlah dia, muliakanlah tempat tinggalnya, luaskanlah kuburannya, mandikanlah dia dengan air salju dan air embun, bersihkanlah ia dari segala dosa sebagaimana kain putih bersih dari kotoran, berilah ia tempat tinggal yang lebih baik dari tempat tinggalnya di dunia, beri juga keluarga yang lebih baik dari keluarganya yang di dunia, juga pasangan yang lebih baik dari pasangannya di dunia. Dan peliharalah dia dari siksa kubur dan siksa neraka".
· Dalam hadits lain dijelaskan, bahwa sedekah yang diniatkan untuk mayit, pahalanya akan sampai pada mayit. Redaksi hadits tersebut adalah, "Abdullah bin Abbas r.a. berkata : suatu ketika ibu Saad bin Ubadah meninggal dunia ketika Saad tidak berada ditempat. Lalu, ia datang kepada Nabi dan bertanya, wahai Rasulullah, ibuku telah meninggal dunia saat saya tidak mendampinginya, jika saya bersedekah dengan niat pahalanya buat ibu saya, akan sampaikah pahala itu ke ibu saya? Rasulullah saw. Menjawab : Ya! Saad berkata lagi, "saksikanlah, bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan di jalan Allah, agar pahalanya dipetik oleh ibuku."
Ketiga : Dalil Ijma’
a. Jumhur ulama sepakat, bahwa doa yang dibaca dalam shalat jenazah, sangat bermanfaat bagi mayit. Artinya, bila ia seorang pendosa, maka doa tersebut dapat meringankan siksanya, baik dalam kubur maupun di akhirat kelak.
b. Utang mayit dianggap lunas, bila dibayar orang lain, sekalipun bukan keluarganya. Berdasarkan hadits Abu Qatadah, ketika ia menjamin akan membayar hutang seorang mayit sebanyak dua dinar. Setelah ia tunaikan utang itu Nabi saw. bersabda:
أَلآنَ بَرَدْتَ عَلَيْهِ جِلْدَتَهُ
"Sekarang engkau telah mendinginkan kulitnya".
Pendapat ini dikuatkan pula oleh seorang pakar fiqih Hanbali, yaitu Syekh Abdullah bin Muhamad bin Humaid –rahimahullah-. Dalam kitab beliau berjudul "Gayatul Maqsud" beliau membahas secara khusus masalah ini. Beliau mengatakan, "bahwa seluruh ulama dari berbagai mazhab menyetujui pendapat ini. Yaitu, pahala yang diniatkan kepada mayit akan sampai padanya. Bahkan semua bentuk amal shaleh yang dilakukan orang yang hidup, lalu menghadiahkannya kepada mayit, seperti haji, sedekah, binatang korban, umrah, bacaan Al-Quran serta tahlil, takbir dan shalawat pada Nabi tidak diragukan lagi, akan sampai pada mayit."
Untuk lebih jelasnya, di bawah ini kami akan memuat beberapa nashush fiqhiyyah dari berbagai mazhab, menyangkut masalah tahlil :
Mazhab Hanafi
Usman bin Ali Az-Zaila’i dalam kitabnya ‘Kanzu Daqaiq’ menjelaskan di bab alhajju ‘an ghairihi sebagai berikut, "Pada dasarnya, manusia memiliki hak untuk mentransfer pahala perbuatannya pada orang lain. Sebagaimana diakui oleh penganut ahli sunnah wal jama’ah, baik itu shalat, puasa, haji, sedekah, bacaan Al-Quran, dzikir dan lain sebagainya. Pendeknya, semua bentuk amal kebajikan. Dan seluruh pahalanya akan sampai kepada mayit bahkan dapat memberi manfaat bagi mayit." Pendapat ini disetujui oleh Imam Al-Marginani pada awal bab al-hajju ‘anilghair (menghajikan orang lain).
Mazhab Maliki
Al-Qadhi ‘Iyadh ketika menjelaskan hadits riwayat Muslim yang berbunyi, "Mudah-mudahan kedua pelepah korma ini dapat meringankan azab orang yang baru saja dikubur selama pelepah korma ini masih basah." Dari hadist ini, para ulama berkesimpulan, bahwa bacaan Al-Quran yang diniatkan untuk mayit, hukumnya Sunah. Sebab bila pelepah korma saja, yang tak berarti itu dapat meringankan azab sang mayit, apatah lagi bacaan ayat Al-Quran, tentu lebih utama dari pelepah korma. Pendapat ini didukung oleh Imam Al-Qarafi dan Syekh Ibnul Haj.
Mazhab Syafi’i
Imam Nawawi berkata, "Disunahkan bagi orang yang menziarahi kubur untuk menyalami penduduk kubur yang diziarahi dan mendoakan mereka. Lebih afdhal lagi bila doa yang dibaca sesuai dengan yang pernah dibaca Rasulullah saw. Demikian juga, disunahkan membaca Al-Quran untuk penghuni kubur, lalu disambung langsung dengan bacaan doa bagi keselamatan mereka."
Mazhab Hanbali
Imam Ibnu Qudamah berkata, "Segala bentuk perbuatan yang dapat mendatangkan pahala dan diniatkan untuk sang mayit muslim, insya Allah, dapat ia petik hasilnya. Apalagi doa, istigfar, sedekah dan hal-hal wajib yang memang harus ditunaikan. Para ulama sepakat, hal itu pasti dirasakan manfaatnya oleh sang mayit." Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul Islam Taqiyuddin Muhammad bin Ahmad Al-Fatuhi. dan juga Syaikh Mansur Al-Bahuti.
Menyediakan Makanan
Dalam acara Tahlilan, biasanya keluarga mayit menyediakan makanan untuk disuguhkan kepada tamu yang datang dalam acara ritual tersebut. Mereka meniatkan suguhan itu sebagai sedekah. Padahal, Nabi saw. justru memerintahkan para tetangga atau karib kerabat keluarga yang berduka untuk mengulurkan bantuan. Baik berupa makanan atau apa saja guna meringankan beban sekaligus menghibur mereka. Ungkapan belasungkawa, mereka tunjukkan dengan membawa sesuatu untuk melancarkan prosesi penguburan jenazah. Atau membawa makanan untuk keluarga yang dilanda musibah. Rasulullah saw. bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللهِ بِنْ جَعْفَرَ قَالَ : لَمَّا جَاءَ نَعْيُ جَعْفَرَ حِيْنَ قُتِلَ قَالَ النَّبِيُّ ": اصْنَعُوْا لآلِ جَعْفَرَ طَعَامًا فَقَدْ أَتَاهُمْ مَا يُشْغِلُهُمْ (رواه الشافعي وأحمد).
"Abdullah bin Ja’far berkata : tatkala datang berita, bahwa Ja’far telah terbunuh, Rasulullah saw. bersabda:"Buatkanlah makanan untuk keluarga Ja’far! Karena telah datang kepada mereka hal yang menyibukkan mereka." (HR. Asy-Syafi’i dan Ahmad).
Karena itu, sepatutnya yang menyediakan makanan bagi keluarga yang dilanda musibah itu adalah tetangga. Bukan justru sebaliknya. Sudah tertimpa musibah, mereka pula yang harus menyediakan makanan.
Adapun pendapat yang membolehkan pihak berduka untuk memberi makan para penta’ziah di saat tahlilan. Mereka berdalih dengan hadits yang menganjurkan keluarga berduka agar bersedekah, dengan niat pahalanya untuk mayit. Maka, pahala menjamu makan pengunjung saat tahlilan semata-mata dihadiahkan untuk mayit.
Akan tetapi, perlu diketahui, bahwa memberi makan dalam kondisi duka seperti ini, bukan hal yang wajib. Maka, jangan sampai keluarga yang berduka memaksakan diri menjamu tamu. Apalagi sampai berhutang hanya demi menutupi kebutuhan jamuan tersebut. Atau mendahulukan jamuan itu dari hal-hal yang lebih wajib, seperti menunaikan wasiat dan melunasi hutang.
Sebenarnya, ta’ziyah sudah sering dibahas ulama fiqih sejak dulu. Dalam literatur fiqih, bahasan ta’ziyah masuk kategori bab ibadah. Ta’ziyah tak dapat dipisah dari permasalahan jenazah. Ketika ulama membahas hukum mengunjungi orang sedang sakaratulmaut atau meninggal dunia. Lalu, hukum memandingkan mayit, mengkafankan, menguburkan dan terakhir menshalatinya. Maka ta’ziyah, tentu tidak akan luput dari perbincangan ulama. Ia ibarat ungkapan belasungkawa seseorang sebagai ekspresi minimal rasa solidaritas terhadap musibah yang menimpa saudaranya.
Pengertian Ta’ziyah
Menurut bahasa, ta’ziyah bersumber dari akar kata (‘azza). Artinya, menghimbau untuk bersabar, atau membantu melapangkan dada orang yang sedang di timpah musibah.
Sedangkan menurut istilah, terdapat beberapa definisi ulama. Semuanya tidak keluar dari makna lugawi di atas. Di antaranya sebagai berikut :
Syarbini al-Khatib menjelaskan, bahwa ta’ziyah adalah "menasehati orang yang berduka cita untuk tetap sabar. Mengingatkan ganjaran yang dijanjikan bagi orang sabar dan kerugian bagi orang yang tidak sabar. Memohonkan ampunan kepada si mayit, agar tegar menghadapi musibah."
Imam Nawawi berkata, "ta’ziyah adalah menyabarkan, dengan wasilah apa saja yang dapat menyenangkan perasaan keluarga mayit, dan meringankan kesedihannya."
Imam Al-bahuti Al-Hanbali, menyebutkan, "ta’ziyah adalah menghibur dan memberi semangat kepada orang yang ditimpa musibah agar tetap sabar. Mendoakan si mayit bila ia seorang muslim atau muslimah".
Ibnu Qudamah menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan ta’ziyah adalah, "menghibur keluarga mayit dan membantu tunaikan hak mereka, serta senantiasa berada di dekat mereka".
Hukum Ta’ziyah
Para fuqaha sepakat, bahwa hukum ta’ziyah hanyalah sunnah. Tidak ada seorang pun memperselisihkan hal ini. Di bawah ini beberapa kutipan ringkas pendapat mereka:
Ad-Dardiri, "Disunatkan ta’ziyah untuk keluarga mayit…"
Ibnu ‘Abidin, "Disunatkan ta’ziyah bagi siapa saja. Untuk perempuan tentu bagi yang tidak menimbulkan fitnah…"
An-Nawawi, "Imam Syafi’i dan murid-muridnya berpendapat, bahwa bahwa ta’ziyah hukumnya sunnah."
Ibnu Qudamah, "Disunatkan untuk ta’ziyah kepada keluarga mayit. Sejauh ini, tidak ada perbedaan pendapat tentang hal ini, hanya saja Imam Tsauri membatasi hukum sunnah di sini sebelum dikuburkan. Setelah penguburan selesai ta’ziah tidak dianjurkan lagi, karena segala urusan yang berhubungan dengan mayit telah selesai."
Al-Wazir bin Habirah, "semua ulama sepakat, bahwa hukum ta’ziyah adalah sunnah."
Dari seluruh pernyataan ulama berbagai mazhab di atas, maka jelas, bahwa hukum ta’ziyah hanya sunnah. Tidak ada seorang pun dari mereka yang menyatakan wajib atau sebaliknya ta’ziyah tidak boleh. Untuk itu, ada beberapa dalil yang menyatakan ta’ziyah itu masyru’, seperti :
Hadits Anas r.a., sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda, "Barang siapa menghibur saudaranya yang seiman kala ditimpa musibah, maka Allah akan mengenakan ia sebuah pakaian berhias dengan warna hijau menyenangkan di hari kiamat kelak. Sahabat bertanya, ya Rasulullah, apakah yang menyenangkan itu? Dijawab oleh Rasulullah, yaitu sesuatu yang membuat orang iri padanya."
Abdullah bin Mas’ud r.a. berkata, "Rasulullah saw. bersdabda : barang siapa menghibur saudaranya yang ditimpa musibah, maka ia akan memperoleh pahala seperti pahala orang yang ditimpa musibah tersebut."
Abu Bazrah r.a. berkata : sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda : "barang siapa menghibur wanita yang kehilangan anaknya (wafat), maka Allah akan memakaikannya pakaian kebesaran di dalam surga."
Hikmah ta’ziyah
Tentu saja ta’ziyah memiliki hikmah yang dalam, sebagaimana ibadah-ibadah lainnya. Bahkan hikmah yang terkandung di dalamnya amat banyak, baik yang nampak atau pun yang tersirat. Karena itu, sebagian ulama menjabarkan hikmah yang dikandung dalam ta’ziyah. Diantaranya penjelasan Al-Shawi Al-Maliki, yang dinukil dari Ibnu Qasim, bahwa sesungguhnya ta’ziyah memiliki tiga hikmah besar:
Pertama, memberikan kemudahan dan jalan keluar kepada keluarga mayit. Menghibur mereka agar tetap teguh hati untuk bersabar. Mengingatkan pahala sabar. Dan ridha atas ketentuan Allah dengan menyerahkan segala urusan kepada-Nya semata.
Kedua, berdoa, agar Allah Swt. mengganti musibah tersebut dengan ganjaran pahala yang sangat besar.
Ketiga, mendoakan dan memohonkan ampun pada si mayit, agar Allah senantiasa mengasihinya.
Selain tiga hikmah di atas, Ibnu Qasim menambahkan lagi hikmah lain sebagai berikut :
Momentum bagi keluarga mayit untuk senantiasa berbuat baik dan mengigat Allah Swt. Kematian akan datang kapan saja dan di mana saja. Sesungguhnya kematian itu amatlah dekat dengan manusia. Maka, tentu ia akan mempersiapkan diri setiap saat menyongsong kematian. Agar dapat bertemu dengan Allah Swt. dalam kondisi ridha dan juga diridhai.
Dapat mencegah keluarga mayit dari perilaku maksiat yang dimurkai Allah Swt. setelah wafatnya.
· Kesimpulan
Ditinjau dari aspek bacaan ayat Al-Quran, tahlil, tahmid, takbir, tasbih, shalawat, doa dan lain lain, semuanya sangat dianjurkan oleh Islam untuk membacanya. Bacaan Al-Quran, tasbih, istigfar dan amalan lainnya yang dihadiahkan kepada mayit akan sampai pahalanya sesuai yang diniatkan. Demikian pula dengan memberi makan dan melaksanakan ta'ziah. Pembaca dapat menelaah kembali beragam pendapat ulama di atas melalui bacaan bebas dari ensiklopedi hukum Islam yang ada. Tulisan ini hanya stimulan awal, untuk kemudian dikaji lebih luas dan mendalam di kesempatan lain.
Demikan makalah singkat ini, semoga dapat memperkaya pemahaman Islam kita. Hanya kepada Allah jualah kita bermohon, mudah-mudahan kita diwafatkan dalam keadaan husnul khatimah. Amin ya Rabbal ‘Alamin!
Sumber : Oleh: Luqmanul Hakim Abubakar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar